03 | Si Pipi Merah
⚠️ WARNING ⚠️
Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.
[pythagoras]
.
.
.
.
Plak!
"Bangun, sat! Lo ngapain tidur di sini? Ngga punya rumah, hah?"
Satu geplakan pada pantatnya dan suara menggelegar itu berhasil membangunkan Ruha yang sedang tidur tengkurap di sofa markas. Ruha merenggangkan ototnya sejenak sebelum mengubah posisi menjadi duduk. Tampang mengantuk masih tercetak jelas di wajah Ruha.
"Nih pesenan lo! Seragam, sempak, roti, susu, sepatu..."
Ruha menatap Riko yang berdiri di depannya sambil menaruh satu per satu barang-barang yang tadi disebutkan.
"Thanks, Ko. Baik banget lo, mau aja gue suruh," ucap Ruha sambil tertawa.
"Brengsek! Kalo bukan temen gue, mana mau pagi-pagi buta gue dateng ke sini," umpat Riko dan duduk di samping Ruha. "Lagian lo ngapain pake acara kabur dari rumah terus nginep di sini? Kaya ngga ada kerjaan aja."
Memang pagi tadi Ruha sempat menelepon Riko, menyuruh anak dengan tensi tinggi itu membawakan seragam dan sepatu untuknya pergi sekolah. Tentu karena Ruha tak mau repot-repot pulang ke rumah setelah insiden semalam. Papa-nya jelas masih belum pergi.
"Lagi pengen aja nginep sini. Males di rumah ada maung," ucap Ruha dan mulai memeriksa satu per satu barang yang dibawakan Riko.
"Maung? Maung apa?"
"Nggak, lupain! Ini kenapa bawa sempak, roti sama susu juga? Gue cuma nyuruh bawain seragam sama sepatu padahal." Ruha mengangkat sebuah celana dalam warna navy ke arah Riko.
"Lo mau ke sekolah ga mandi dulu? Ga ganti sempak, hah? Terus itu roti sama susu buat lo sarapan. Itu juga kenapa kepala lo? Bocor?" ucap Riko dengan sewot.
Tapi di balik kesewotan Riko itu, Ruha menangkap maksud baik Riko yang perhatian padanya. Sontak ia menarik Riko dan merangkulnya.
"Perhatian banget sih, jadi pengen gue cium."
Ruha dengan jahilnya memajukan bibir kearah pipi Riko. Membuat anak itu sontak berontak dengan heboh. Mendorong wajah Ruha menjauh dengan sekuat tenaga dan berdiri menjauh.
"RUHA! GUE MASIH LURUS YA BANGSAT." Riko bersungut dengan wajah merah padam karena marah. Ia mengusap-usap wajahnya seolah membersihkan kotoran dari sana. "Sialan. Kotor gue kotor."
Kekehan Ruha terdengar jelas saat melihat ekspresi Riko yang memang benar-benar anti diajak belok. "Bercanda Riko!"
Tatapan Riko kembali pada Ruha. "Udah gue bilang cari bencong sana buat lo pacarin. Bercanda kek gitu jangan sama gue kalo ga mau gue tonjok."
"Ya kali sama bencong, yang ada gue sawan. Tapi tenang, mulai hari ini gue ngga akan gangguin lo lagi karena gue udah punya target baru," ucap Ruha dengan bangganya.
"Siapa? Anak mana? Cowok? Umur berapa? Jangan-jangan anak TK."
Wajah sumringah Ruha luntur seketika. "Ko! Sini deh, gue bisikin," panggil Ruha dengan melambaikan tangannya menyuruh Riko mendekat.
Tanpa rasa curiga yang hanya di dominasi rasa penasaran, Riko mendekat kembali ke Ruha. Ia memposisikan telinganya untuk mendengar bisikan Ruha. Tapi yang ia dapat malah membuat emosinya naik lagi.
Cuup~
"BANGSAT! RUHANJING SIALAN?! PERGI MANDI SANA, BABI! GUE GOROK LO LAGI-LAGI NYIUM GUE, SETAN?!"
Riko murka, Ruha bahagia.
Segera Ruha berlari menghindari amukan Riko dengan membawa seragam beserta celana dalam baru yang Riko belikan. Ia menuju kamar mandi markas untuk membasuh diri sebelum sekolah dengan masih cekikikan.
"KO, INI SEMPAKNYA BARU 'KAN?"
"GUE AMBIL MILIK ODGJ DEPAN RUMAH!"
"SERIUSAN?"
"YA BARU LAH ANJING?! BURU MANDINYA! GUE TINGGAL JUGA LO!"
"SEMPAKNYA KEKECILAN!"
"TYTYD LO YANG KEGEDEAN KALI! COPOT AJA!!"
"MANA BISA!?"
Riko mendesah penuh emosi. Tak lagi menyahuti teriakan Ruha yang meributkan 'sempak' yang ia belikan. Ia memijit kepalanya yang berdenyut akibat tensinya naik gara-gara Ruha.
"Ko, sorry... sempaknya ngga gue pakai. Kasihan ruru nanti sesak nafas."
Ruha datang dengan seragam rapih dan melempar kembali celana dalam navy pada Riko. Tak begitu rapih sebenarnya, tak ada dasi, kancing dua teratas kemeja terbuka. Berandal, cocok sekali.
Dengan ekspresi jijik Riko mengembalikan celana dalam yang dilempar Ruha ke dalam kantong plastik.
"Gue masih heran aja, manusia absurd udah gitu homo kaya lo kenapa bisa jadi ketua geng Scorpion ini. Ngga habis pikir sumpah." Riko mengelus dada.
"Yang nyuruh gue jadi ketua 'kan kalian semua," timpal Ruha sambil mengambil roti dan kotak susu di meja kemudian memakannya.
"Bener juga. Kenapa gue nyesel ya dulu dukung lo jadi ketua."
Ruha tau Riko hanya membual dan bercanda. Anak itu mungkin sudah kepalang dibuat emosi olehnya pagi-pagi begini.
"Berangkat sekarang ayo! Ngoceh mulu," ajak Ruha dan berjalan keluar markas setelah memakai sepatu yang Riko pinjamkan.
"Lo ke sekolah mau ngapain? Ngga bawa tas juga," tanya Riko yang menyusul Ruha.
Ruha tersenyum penuh arti melirik Riko yang sudah di sampingnya. "Mau ketemu si pipi merah."
...
Ada hal baru di kelas 11 IPA 2.
Sebuah keajaiban yang tak pernah dibayangkan seisi kelas. Seorang Davian Feliz Ruhaka bisa bertahan seharian di dalam kelas tanpa melewatkan satu pelajaran pun untuk membolos apalagi tidur. Bahkan guru pertama yang masuk untuk mengisi pelajaran sampai di buat terheran dengan kehadiran Ruha yang sudah duduk manis di bangkunya.
"Ruha, kamu sehat 'kan?" pertanyaan itu dilontarkan oleh guru wanita yang mengajar mata pelajaran matematika.
Kini semua mata tertuju pada Ruha yang berada di bangku paling belakang.
"Sehat, Bu. Tumben ibu nanyain gitu?" timpal Ruha dengan wajah cerah.
Guru wanita itu mengerjap sesaat dari keheranannya. "Bukan apa-apa... sekarang buka buku kalian bab Limit Fungsi Aljabar..."
Si guru mulai bicara panjang lebar dengan menjelaskan materi Limit Fungsi beserta tulisan di papan. Semua fokus pada papan tulis kecuali Ruha. Anak itu dengan santai berpangku tangan. Tatapan yang lurus kedepan. Bukan arah papan tulis. Tapi sosok dengan punggung yang berlapis seragam maroon yang duduk paling depan.
Alby.
Ruha berdiri dengan tiba-tiba, membuat suara derit kursi di tengah keheningan kelas. Sontak ia kembali menjadi pusat perhatian. Seluruh kelas bahkan sang guru berpikir satu hal yang sama, pasti mau bolos lagi.
Tapi nyatanya pikiran mereka salah saat Ruha berjalan ke bangku area depan dan berhenti tepat di samping Alby. Tak lupa dengan kursi yang sengaja Ruha bawa dari belakang ke depan.
"Bu, mata saya minus. Boleh 'kan kalo saya nyatet materinya dari sini?" tanya Ruha pada guru di depan. Sang guru yang tak bisa berkata-kata hanya mengangguk sebagai jawaban.
Biang onar seperti Ruha mencatat materi pelajaran? Hal luar biasa lainnya yang terjadi hari ini.
"Geser, kursi gue ga muat!" pinta Ruha menatap Alby.
Kedua alis Alby berkerut heran, meski begitu ia sedikit bergeser untuk berbagi meja dengan Ruha. "Tempat lain 'kan banyak, kenapa harus meja gue?"
"Meja lo yang gue lihat duluan."
Alby berdecak tak memperdulikan Ruha dan kembali mencatat tulisan papan tulis ke buku tulis miliknya. Dan hampir setengah jam berlalu, tak ada tanda-tanda dari Ruha yang mencatat tulisan di depan.
"Jam berapa sampai rumah semalem?" tanya Ruha tiba-tiba.
"Sepuluh."
Ruha mengangguk paham dan kembali bertanya pertanyaan lain. "Tidurnya nyenyak?"
Seketika Alby menghentikan kegiatan menulisnya. Ia menoleh ke samping, tepat pada Ruha yang menatapnya intens.
"Katanya mau nyatet materi? Kenapa malah nanya hal ngga penting?"
"Ngga tau mendadak males nyatet. Gue lihat catatan lo aja sekalian ajarin nanti malem." Ruha tak mengalihkan pandangannya sedikitpun.
"Gue ada urusan. Nanti malem ngga bisa ke rumah lo."
Ruha langsung menegakkan tubuhnya dengan wajah serius. "Kenapa? Urusan apa?"
"Urusan pribadi," jawab Alby melanjutkan kegiatan menulisnya.
Tak puas mendengar jawaban dari Alby, Ruha lantas mencekal tangan Alby. Membuat anak itu kembali fokus padanya karena terganggu.
"Lo mau ingkarin amanah dari wakel? Jatahnya 'kan senin sampai jumat lo harus ngajarin gue."
Alis Alby menyatu sempurna. Ruha yang biasanya bahkan harus dipaksa belajar bersama mendadak semangat belajar bersamanya. Tentu Alby heran.
"Lo kesambet apa lagi? Biasanya juga cari-cari alasan biar ngga belajar sama gue."
"Tapi hari ini gue lagi semangat belajar. Lo tega patahin semangat anak didik lo ini?" Ruha memasang wajah semelas mungkin. Tapi bukannya luluh, Alby tetap pada jawabannya yang awal.
"Ngga bisa."
Wajah Ruha berubah datar. Ia melepas tangannya yang mencengkeram lengan Alby. Ruha lantas berdiri dan kembali ke mejanya sambil menarik kursi miliknya dengan kasar.
"Minggir, bangsat! Gue mau lewat!" bentak Ruha pada seorang siswa yang menghalangi jalannya ke belakang.
Anak yang dibentak itu minggir dengan takut. Wajah Ruha terlihat sangat tak bersahabat. Aura bunga-bunga yang awalnya ada pada Ruha berganti dengan aura kelam yang mengerikkan.
Alby sadar itu karena dirinya. Beberapa kali ia menoleh ke belakang tempat Ruha. Tatapan itu masih mengarah padanya dengan tajam. Apa salahnya? Urusannya memang benar-benar tak bisa ditinggal. Dan kenapa pula Ruha kesal ajakan belajarnya ia tolak.
...
Nyatanya seorang Ruha tak kenal kata menyerah. Masih kukuh dengan apa yang ia kejar.
Pada jam makan siang, dimana itu adalah jam sakral yang biasanya Ruha pakai untuk memalak anak-anak sekolah, kali ini ia pakai benar-benar untuk makan ke kantin.
"Kenapa makan sendirian?" Ruha bertanya.
Sosok Alby tengah menikmati jatah makan siangnya sendirian. Dengan masih mengunyah, Alby mengangkat wajahnya menatap Ruha yang sudah duduk di depannya membawa nampan makanan.
"Lo ngga punya temen? Gue kira Ketua OSIS temennya banyak," ucap Ruha dan mulai makan. Sesekali melirik Alby yang tak menjawab pertanyaannya.
Sambil mengunyah makanan, Ruha memperhatikan Alby. "Porsi makan lo dikit banget. Emang kenyang segitu?"
"Kenyang aja. Emang kenapa?"
Akhirnya Alby menyahut, membuat Ruha menarik bibirnya.
"Lo itu kurus, pake banget. Seharusnya makan yang banyak biar cepet gede kaya gue." Ruha menyendokkan nasi dan lauk di nampannya dan memindahkan hampir setengahnya ke nampan Alby. "Makan! Harus habis!"
Nampan Alby yang hampir habis kini kembali penuh dengan makanan. "Lo kesambet apa sih? Dari pagi aneh, sekarang malah makin aneh. Kenapa tiba-tiba baik sama gue?"
"Gue kasihan sama lo. Kayaknya ga punya temen, makanya gue temenin."
"Alasan yang bener!"
"Nanti malem harus ajarin gue. Wajib! Kalo enggak, lo yang gue seret paksa ke rumah gue." Ruha telah menyelesaikan makannya dengan cepat. Ia berdiri, menatap Alby dengan seringaian. "Gue tunggu pulang sekolah!"
...
Dan benar saja Ruha menunggu sampai pulang sekolah. Mengikutinya hingga parkiran saat hendak mengambil sepeda kesayangannya.
"Gue bilang ada urusan penting. Hari ini ngga bisa ngajarin lo," tolak Alby lagi, mencoba menghindari Ruha yang menghalangi jalan keluar sepedanya.
"Bilang dulu urusan pentingnya itu apa baru bisa gue putusin lo boleh pergi atau enggak."
Alby menatap Ruha dengan jengah. Kepalanya mendadak pusing dengan tingkah anak berandal di depannya yang seharian ini mengganggunya.
"Gue ngga bisa bilang."
"Kenapa?"
"Karena bukan urusan lo."
Sekali lagi Alby mencoba keluar menuntun sepeda merahnya. Tapi Ruha lagi-lagi menghentikannya. Tangan Ruha memegang stang sepeda miliknya itu dengan kuat sehingga ia tak bisa pergi.
"Oke, karena lo ngga mau jawab artinya lo harus ngajarin gue," ujar Ruha sepihak tanpa peduli raut tak terima dari Alby.
"Gue beneran ada urusan, Ru!"
Ruha dengan seenaknya mengambil alih sepeda merah milik Alby. Menaikinya dan menarik Alby di boncengan belakang.
"Tunggu, Ruha! Gue ngga bisa!" protes Alby. Tapi Ruha seakan tak peduli.
"Pegangan yang erat~" seru Ruha.
Dan dengan cepat Ruha mengayuh sepeda tersebut sebelum Alby melayangkan protes kembali. Ruha membonceng Alby menggunakan sepeda kayuh tersebut menuju rumahnya dengan antusias.
"Ruha! RUHA STOP RUHA! RUHAAA!" teriak Alby saat Ruha mengayuh sepedanya dengan kencang.
"GUE BILANG PEGANGAAAN!" balas Ruha berteriak dan menarik kedua lengan Alby untuk melingkari pinggangnya. "WOHOOOO~"
...
"Gue naik sepedanya ngga kenceng-kenceng amat. Kenapa muka lo pucet gitu?"
Suara tawa Ruha mengudara melihat wajah Alby begitu sampai di depan rumahnya. Terlihat sangat kusut dengan beberapa rambut yang berantakan. Tawa Ruha yang tak ada henti-hentinya itu membuat Alby mendengus.
"Ngga usah ketawa. Ayo kalo mau belajar, jam enam nanti gue pulang."
"Buru-buru banget, belum juga masuk."
Setelah Ruha menaruh sepeda Alby di depan rumah, ia segera masuk dengan merangkul Alby. Menggoda anak itu dengan berbagai macam ucapan dan ejekan karena tubuh Alby yang lebih kecil darinya.
Ruha tertawa setiap kali Alby terlihat sedikit kesal meskipun tak ada kalimat protes. Dan suara tawa Ruha itu berhasil membuat penghuni lain di rumah merasa terganggu.
"Jangan berisik di rumah! Ini bukan hutan!"
Sosok Jennifer menatap kedua anak remaja yang baru datang itu dengan pandangan tajam. Kedua tangan terlipat di depan dada dengan kaki yang diselonjorkan ke meja depan sofa.
Tawa Ruha langsung berhenti. Tatapannya berubah datar memandang Jennifer. Sedangkan Alby di samping Ruha bingung melihat sosok baru yang tak pernah dia temui setiap kali mengajari Ruha di rumah anak itu.
"By, belajarnya kali ini di kamar gue aja," ucap Ruha dan menarik Alby kearah kamarnya.
"Hei! Siapa yang ijinin kamu bawa orang asing ke dalam rumah?" Jennifer berseru.
"Bukan lo yang punya rumah," balas Ruha dengan ketus.
"Perlu berapa kali diingetin. Aku di sini udah jadi Mama kamu! Jangan membantah jadi anak."
Seketika Alby terkejut mendengar perkataan itu. Mama? Wanita muda itu Mama-nya Ruha?
Terima kasih yang udah baca dan voment. Tinggalin jejak lagi disini.
Bạn đang đọc truyện trên: truyentop.pro