05 | Baby Uka

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Ketiga anggota inti Scorpion baru saja pulang meninggalkan Ruha yang masih bertahan sendirian di parkiran sekolah. Kepalanya celingukan seolah mencari seseorang.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul empat sore, dan mendung diatas sana mulai sedikit menumpahkan isinya. Tapi orang yang ditunggu sejak tadi belum terlihat batang hidungnya. Dan sepeda merah milik sosok itu masih bertengger manis di parkiran.

Sampai akhirnya sosok dengan jaket merah terlihat berlari kecil dari gedung sebelah menuju parkiran.

"Ngga usah lari-lari! Nanti jatoh," ucap Ruha.

Alby yang sadar langsung menatap sumber suara. Ruha lantas memasang senyumnya.

"Lo kenapa masih di sini?" kejut Alby menunjuk Ruha. Jam pulang sudah satu jam yang lalu, bahkan parkiran kini hanya tinggal motor Ruha dan sepedanya.

"Nungguin lo. Lama! Kemana aja?" tanya Ruha.

"Ada keperluan OSIS. Kenapa nungguin? Ada perlu? Kalo soal belajar nanti gue ke rumah lo," jawab Alby.

Ruha turun dari motornya, kemudian berdiri sejajar dengan Alby. Tangan Ruha terangkat kearah wajah Alby yang basah dan berniat mengusapnya. Tapi sebelum sempat telapak tangan Ruha menyentuh wajah itu, Alby lebih dulu memeganginya.

"Mau ngapain?"

"Ngga usah tegang gitu. Gue ngga akan cium lo."

Wajah Alby langsung tertunduk saat kata 'cium' terucap. Mengingatkannya yang terjadi malam itu. Sungguh membuatnya malu dan kesal. Ruha yang melihat itu kembali menarik bibirnya.

"Kenapa nunduk? Keinget malam itu? Mau diulang?" jahilnya Ruha kambuh.

Alby lantas mendorong tubuh Ruha dan berjalan mengambil sepedanya. Semakin hari kelakuan Ruha semakin aneh terhadapnya. Dan Alby merasa tak seharusnya ia meladeni itu.

"Lo mau pulang gitu aja? Udah hujan."

Mendengar itu, Alby menatap langit. Hujan sudah mengguyur semakin deras. Dan sialnya ia tak membawa jas hujan ataupun payung karena tadi pagi terlihat cerah.

"Dari pada lo hujan-hujanan sama naik sepeda, mending ikut gue naik motor. Gimana?" tawar Ruha.

Dan dengan cepat Alby menjawab, "Nggak, makasih."

"Kan sekalian, bukannya lo mau ke rumah gue buat ngajarin gue?"

Alby melirik Ruha yang sekarang sudah menaiki motor. Ada benarnya ucapan Ruha. Akan lebih cepat kalau ia menerima tawaran itu. Tapi sepedanya mau ditinggal di sini begitu saja?

"Sepeda gue gimana?"

"Tinggal aja. Ayo sini, jangan banyak mikir!"

Dengan ragu, Alby kembali menaruh sepedanya dan mendekati Ruha. Ruha yang tak sabaran langsung menarik Alby agar lebih cepat mendekat. "Jaketnya pakai yang bener!" ujar Ruha sembari memakaikan tudung jaket Alby dan menarik resleting jaket merah tersebut sampai leher.

Setelahnya Ruha menarik Alby untuk naik keatas motornya.

"Pegangan! Nanti lo kebawa angin gue ngga tau."

Alby bingung, tak tau harus memegang apa. Pasalnya motor Ruha itu motor sport, tak ada besi belakang seperti motor matic biasanya. Ruha yang sadar langsung menarik kedua lengan Alby ke depan.

"Pegang di sini!" ujar Ruha setelah melingkarkan lengan Alby ke perutnya. Alby benar-benar merasa aneh karena itu. Karena secara tak langsung, ia memeluk Ruha.

Brum! Brum!

Ruha sedikit memanasi motornya, sebelum bersiap melaju menerobos hujan.

"Pelan-pelan," cicit Alby dari belakang yang lantas membuat Ruha terkekeh.

"Kalo pelan basahnya makin banyak. Lo tenang aja, ngga bakal kenapa-kenapa."

Dan setelah mengucapkan itu, motor Ruha melaju meninggalkan parkiran SMA San Juan. Dengan kecepatan yang hampir mencapai 100km/jam, membuat Alby mengeratkan pelukannya pada Ruha dan merapatkan kepalanya pada punggung lebar itu. Benar-benar membuat jantung Alby terasa dicabut dari tempatnya.

...

"Ganti pakaian lo sama ini!"

Ruha menyodorkan one set sweater navy pada Alby yang terlihat kedinginan. Jelas saja dingin, seluruh pakaiannya kini basah karena air hujan. Alby lantas menerima sweater itu dengan tangan bergetar.

"Thanks," ucap Alby berterima kasih.

"Lo bisa ganti di kamar mandi sana..." Ruha menunjuk sebuah pintu di dalam kamarnya. "...biar gue yang ganti di kamar mandi luar."

"Tunggu! Kenapa lo ganti di luar? Kan kita sama-sama cowok."

Ruha yang baru akan berjalan keluar kamarnya kembali berbalik memandang Alby.

"Lo mau ganti baju bareng? Kalo gitu ya udah gue ganti baju di sini."

Tangan Ruha lantas melepas seragamnya. Membuka satu per satu kancing seragamnya, menampilkan dada bidang dan perut kotak-kotak yang sontak membuat Alby melongo. Diam-diam Alby melihat tubuhnya sendiri dari atas kerah. Sangat jauh berbeda, batinnya.

"Kenapa belum ganti?" tanya Ruha saat Alby hanya diam menatapnya.

Alby terkesiap, "Ini mau ganti," ucapnya dan buru-buru melepas jaket merahnya yang basah kemudian seragam.

"Seragam lo taruh sini, nanti biar gue keringin pake mesin cuci."

Ruha menyodorkan keranjang kosong padanya dan hanya Alby jawab dengan anggukan kepala. Ruha yang lebih dulu selesai ganti baju kini duduk di ranjangnya sambil menatap Alby.

"Kurus banget," komentarnya menatap punggung putih Alby. "Lo makan nggak sih, By?"

"Ngga usah lihat-lihat!"

Alby melempar seragam basahnya tepat ke muka Ruha dan buru-buru memakai sweaternya. Benar-benar kebesaran.

"Gue mau ganti celana, jangan ngintip!"

"Ngga ngintip. Nih udah gue tutup."

Ruha menutup matanya dengan tangan, tapi sela-sela jarinya merenggang. Sebuah senyum mengembang saat wajah Alby berubah kesal.

"Itu namanya ngintip! Balik badan aja."

"Tadi bilang sama-sama cowok. Masa gue lihat aja lo malu?"

"Udah balik badan aja!" Dengan kesal Alby memutar tubuh Ruha agar memunggunginya. Ruha yang diperlakukan seperti itu hanya terkikik.

Alby itu lucu, sifat dan sikapnya benar-benar lucu bagi Ruha. Dulu ia kira si Ketua OSIS itu punya sifat yang menjengkelkan karena sering melaporkan dirinya dan gengnya ke guru. Terlalu mematuhi aturan sekolah.

Tapi nyatanya, Alby punya sisi pemalu yang lucu.

"Udah belum?"

"Bentar, jangan balik badan!"

"Lama bener..." keluh Ruha.

Sembari menunggu Alby berganti celana, Ruha sibuk dengan seragam milik Alby di tangannya. Menatap kearah badge name yang tertera di sana. Ukasya Albyandra. Nama yang terdengar indah.

"Udah selesai."

Begitu mendengar itu Ruha berbalik. Pakaian Alby telah berganti dengan sweater miliknya. Padahal sweater itu pas kalau ia pakai, tapi malah jadi oversize saat dipakai Alby.

"Lucu," gumam Ruha.

"Lo bilang sesuatu, Ru?"

Ruha tersenyum, "Lo lucu," ucapnya sekali lagi dengan suara lebih keras. Alby langsung menghindari tatapan Ruha.

"Ayo mulai belajar, keburu malem," ucap Alby cepat dan mengambil tasnya di ranjang Ruha untuk ia bawa ke meja belajar di karpet. Ruha mengikuti di belakang.

Alby mulai mengeluarkan buku-buku beserta tempat pensil miliknya. Kemudian menaruhnya pada meja lipat milik Ruha.

"By, hari ini bisa skip belajarnya?" celetuk Ruha. Alby mengangkat wajahnya, bertatapan tepat dengan mata tajam Ruha.

"Apa lagi?" Seolah sudah terbiasa, Alby menanggapinya dengan jengah.

"Kita ngobrol berdua," ucap Ruha. Kedua tangannya menyilang dan bertumpu di atas meja dengan tubuh yang agak condong kearah Alby.

"Ngga sampai dua minggu bakal ada ujian bulanan. Kalo ngga belajar, nilai lo bakal hancur lagi. Latihan soal yang gue kasih juga lo jawab asal-asalan. Emang lo mau dapet peringkat terakhir lagi di kelas?"

"Gue udah bilang 'kan, gue ga pernah peduli soal nilai. Nilai itu cuma angka yang ngga penting." timpal Ruha sambil memainkan tempat pensil milik Alby.

"Nilai itu penting buat masa depan, Ru. Kalo nilai lo jelek, lo ngga akan bisa masuk ke universitas nanti. Dan sebaliknya, kalo nilai lo bagus, lo bisa masuk universitas manapun. Lo tau 'kan, ujian bulanan itu efeknya besar buat nilai akhir kita."

Pada akhirnya, tanpa sadar mereka berdua telah terlibat dalam satu obrolan panjang.

Ruha tertawa sesaat. Mengingat bahwa nilai ujian bulanan di SMA San Juan memang akan berdampak besar untuk masuk ke perguruan tinggi. Tapi toh sebenarnya itu bukan masalah besar untuknya.

"Dari awal kelas 10 nilai gue udah jelek. Tapi buktinya gue bisa masuk kelas unggulan sama lo. Lo tau alasannya?" Ruha bertanya.

Alis Alby menyatu tak mengerti lantas menggeleng.

"Bokap gue ngga mau nanggung malu punya anak bodoh kaya gue. Dengan uang yang bokap gue kasih tiap bulan ke sekolah udah cukup buat masukin gue ke kelas unggulan..." Ruha terkekeh lagi. Lebih terdengar miris. "...soal universitas, sekelas UI atau bahkan Harvard bisa gue tembus kalo bokap gue nyuruh."

Semudah itu uang bisa membeli segala hal. Ruha memang anak orang kaya, seharusnya Alby tak menasehati soal masa depan Ruha yang jelas-jelas sudah cerah dari orang tuanya. Berbeda dengan dirinya. Yang bahkan mati-matian mempertahankan nilai agar beasiswanya tidak dicabut.

"Tapi nilai penting buat gue, Ru. Sekali turun, beasiswa gue jadi taruhan," ucap Alby dengan suara melirih.

"Oh bener, lo masuk ke San Juan karena beasiswa. Pantes ambis banget soal nilai. Lo juga Ketua OSIS, udah pasti ada nilai plus," ucap Ruha. Matanya melirik Alby yang diam sambil menunduk.

Ruha menyadari suasana berubah. Ia lantas berdiri, beralih ke samping Alby dan menaruh lengannya merangkul pundak kecil itu.

"By, masa depan itu ngga ada yang tau. Kita nikmatin aja prosesnya, jangan terlalu dipikir."

"Dibalik proses juga harus ada usaha," timpal Alby.

"Dan usaha ngga akan menghianati hasil. Bener 'kan?"

Alby melirik Ruha sekilas dan mengangguk kecil.

"Nah, karena gue udah usaha selama dua minggu ini deketin lo, gue minta hasilnya. Jawaban lo!"

Seketika Alby menjauh.

"Ru, cowok sama cowok ngga mungkin pacaran. Ibarat magnet, itu sama halnya kaya kutub utara disatuin sama kutub utara. Mustahil," tegas Alby.

Ruha sedikit tertohok mendengar kata-kata itu. Jujur saja, ajakan waktu itu bukan main-main ia ucapkan.

"Tapi gue nyaman sama lo," ucap Ruha sambil mengikis jarak.

"Nyaman?"

"Gue suka lihat pipi lo merah."

Alby sedikit gugup begitu Ruha semakin dekat dengannya. Kembali dengan degup jantung brutal setiap kali hal itu terjadi.

"Gue suka bibir lo yang manis."

Grepp!

Bruk!

Ruha telah berhasil memenjarakan Alby di bawahnya. Matanya menatap teduh mata bulat Alby yang melebar.

"Like nicotine... And make addiction..."

Perlahan kepala Ruha turun. Alby tau apa yang terjadi selanjutnya, dan ia langsung menahan wajah Ruha.

"K-kita bisa jadi teman, atau sahabat. Eng, enggak harus hubungan yang lo minta."

Sebuah penolakan halus yang Alby ucapkan dengan wajah memerah. Membuat Ruha tak yakin Alby benar-benar mengucapkan itu dari dalam hati. Dirinya harus lebih berusaha lagi dan harus menunggu.

"Oke! Gue ngga akan maksa. Karena hubungan yang dilandasi dengan paksaan ngga akan berjalan baik," ucap Ruha dengan sebuah senyum kecil.

Ia menggenggam tangan Alby dari wajahnya. Kembali menurunkan kepalanya ke sisi kiri wajah Alby.

"Gue akan nunggu, sampai lo bilang iya... dan jadi milik gue... Baby Uka!" bisik Ruha pelan di samping telinga Alby dengan sebuah kecupan singkat pada pipi yang semakin memerah.

Aloo, maaf telat up. Harusnya ini up kemarin.

Makasih yang udah kasih vote & komen sebelumnya.

Bạn đang đọc truyện trên: truyentop.pro