12 | Right Person
⚠️ WARNING ⚠️
Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.
[pythagoras]
.
.
.
.
"Alby, bunda pulang dulu ya. Kamu baik-baik di rumah."
Renata mencium kedua pipi Alby beserta kening setelah berpamitan. Alby yang lantas memberikan sebuah payung pada Renata. Hujan tiba-tiba mengguyur saat tadi mereka makan malam. Dan masih belum reda sampai sekarang.
"Bunda hati-hati di jalan!" ucap Alby sedikit berteriak pada Renata yang sudah berjalan menuju mobil. Tangannya melambai pada sang bunda.
Begitu mobil bunda Renata pergi, Alby langsung berganti menatap sosok di sampingnya. Sosok itu ikut melambai tadinya. Dan sekarang menatapnya.
"Lo ngga pulang juga, Ru?"
"Enggak, gue mau nginep sini," ujar Ruha dan dengan santainya kembali masuk ke dalam rumah Alby.
Alby mengikuti Ruha yang sekarang sudah duduk di sofa. Anak itu berasa seperti di rumahnya sendiri. Menyalakan televisi dan mengambil camilan seenaknya.
"Emang orang rumah lo ngga ada yang nyariin?" tanya Alby.
"Ngga, ngga ada yang peduli sama gue."
Ruha begitu santainya masih memakan camilan. Matanya melirik Alby yang masih berdiri di samping sofa. Ia lantas menarik anak tersebut untuk ikut duduk di sampingnya. Mengalungkan lengannya pada leher Alby dan kembali fokus ke televisi.
"Lo dua hari ini kemana?" tanya Ruha tiba-tiba.
Alby yang semula ikut menonton acara tv lantas menoleh kearah Ruha. Ruha yang sadar Alby hanya menatapnya memiringkan kepalanya dengan dahi berkerut.
"Kenapa malah lihatin gue? Gue ganteng ya?"
Dari ucapan Ruha itu langsung membuat Alby memalingkan muka. "Jangan kepedean," ketus Alby.
"Lo sih, bukannya jawab malah lihatin muka gue. Kan ngiranya lo terpesona sama ketampanan gue yang bak Dewa Yunani ini." Kembali Ruha berucap dengan pedenya. Hal itu membuat Alby melempar mata malas.
"Gue ikut bunda ke rumah sakit," jawab Alby.
Ruha diam, pikirannya ditarik ke percakapannya tadi dengan Renata. Tentang masa lalunya Alby, orang tua Alby dan sakitnya Alby. Dalam hati Ruha masih tak percaya dengan apa yang ia dengar dari Renata. Begitu berkebalikan dengan apa yang ia lihat selama ini dari Alby.
"Udah jam segini, ayo tidur." Ruha segera mematikan televisi saat melihat jam dinding menujukkan pukul setengah sepuluh malam.
"Kalo gitu gue beresin kamar sebelah bentar." Alby segera beranjak berdiri, tapi kembali di tarik Ruha.
"Buat apa beresin kamar sebelah?"
Alby menghela nafasnya, "Buat lo, emang lo mau tidur dimana?"
"Kamar lo 'kan ada, kasurnya juga muat berdua."
Ruha memasang senyumnya, kemudian menarik Alby ke kamar anak itu sebelum sempat diprotes.
Begitu sampai di kamar Alby, Ruha langsung merebahkan tubuhnya ke kasur dengan Alby di atasnya. Sontak Alby membulatkan mata karena tubuhnya menempel sempurna dengan Ruha.
"Ruha lepasin!" Alby berontak. Sayangnya Ruha malah semakin mengeratkan pelukannya.
"Gue mau peluk lo lebih lama."
"Katanya mau tidur."
"Ya ini tidur. Tutup mata lo dan tidur."
Ruha merubah posisinya, membuat Alby berbaring di sampingnya tanpa melepas pelukan. Matanya terpejam, tapi wajahnya ia usak-usakkan ke rambut Alby di bawahnya. Bau harum shampo bayi menguar. Alby tak lagi berontak, malah seperti menyamankan diri dipelukan Ruha yang terasa hangat.
"Ru, boleh tanya?" celetuk Alby.
"Tanya aja..."
Alby tak lantas bertanya, ia menggigit bibirnya ragu.
"Katanya mau tanya, kenapa malah diam?"
Diamnya Alby membuat Ruha penasaran apa yang dipikirkan anak itu. Ia menarik diri untuk menatap wajah Alby. Pipi bulat putih milik Alby itu memerah tanpa sebab.
"Soal ajakan lo waktu itu... bercanda 'kan? Sikap lo akhir-akhir ini juga."
Ruha mencoba berpikir kemana arah pembicaraan Alby. "Ajakan gue waktu itu? Maksudnya yang gue minta lo jadi pacar gue?"
Alby mengangguk.
"Jadi selama ini lo ngiranya gue cuma bercanda, By?" Entah kenapa itu membuat Ruha speechless. "Kalo gue bercanda, gue ngga akan pulangin lo waktu mabuk, ngga mungkin ngerawat lo waktu demam, ngga mungkin relain waktu gue buat belajar sama lo. Dan ngga mungkin gue bela-belain ubah kebiasaan gue yang perokok, pembolos, biang onar, bahkan mabuk-mabukan itu... semua gue tinggalin karena gue beneran suka sama lo, Alby"
"Tapi Ru, gue cowok. Kenapa lo bisa suka?"
Untuk pertanyaan Alby yang itu Ruha tak bisa menjawab.
"Kalo untuk itu gue ngga bisa jawab sama kata-kata. Ngga ada kata yang pas buat jadi alasan gue bisa suka sama lo..." Tangan Ruha terulur menyentuh pipi Alby yang kian memerah. "Kenapa tiba-tiba tanya gitu?"
Alby lantas menghindari tatapan Ruha. Beberapa minggu ini perasaannya telah dibuat tak karuan oleh anak laki-laki di depannya. "Gue ngga tau, rasanya ada yang aneh," gumamnya.
"Aneh gimana?"
Kali ini Alby memilih diam. Ruha sebenarnya sudah tau dari awal Alby membahas topik ini. Alby sudah mulai ada rasa padanya. Meski sepertinya anak itu belum paham tentang perasaannya sendiri. Jadi, Ruha harus mengajari Alby pelan-pelan untuk mengungkapkannya.
"By, pipi lo makin merah. Emangnya normal kaya gitu?" Ruha mengubah topik lain. Pasalnya kulit pipi Alby merahnya semakin banyak tak seperti biasanya.
"Kalo kena udara yang terlalu dingin atau panas biasanya emang begitu."
"Lo ngga tahan dingin?"
"Iya."
Mendengar itu Ruha langsung memegang kedua telapak tangan Alby. Begitu dingin. Udara malam ini memang sangat dingin, terlebih lagi hujan deras diluar yang masih belum berhenti.
"Ru, boleh peluk?"
Ruha yang sibuk menghangatkan telapak tangan Alby terkejut. Telinganya tak salah dengar 'kan? Alby meminta peluk lebih dulu?
"Boleh," ucap Ruha riang. Ruha lebih dulu menarik Alby dalam pelukan, kemudian membungkus tubuh mereka dengan selimut. Tubuh Alby yang lebih kecil benar-benar tenggelam di dalam pelukan Ruha dan selimut.
Rasa dingin yang awalnya Alby rasakan kini berubah menjadi rasa hangat yang begitu nyaman.
"By, mulai sekarang gue mau lo lebih terbuka lagi. Apapun yang lo rasain, lebih baik dibagi sama orang lain. Orang yang tepat tentunya," ucap Ruha, tangannya mengusap pucuk kepala Alby yang menyembul.
Ruha dapat merasakan pelukan mengerat pada perutnya. Kemudian disusul sebuah kalimat yang membuat Ruha tak bisa melepas senyumnya.
"Ruha mau jadi orang itu?"
"Lo ngga usah tanya lagi kalo itu."
...
Hari-hari berikutnya, hubungan Ruha dan Alby semakin lengket. Kemana-mana sering berdua. Terutama saat di sekolah. Ruha selalu mengikuti kemana Alby pergi.
Meski tak ada status hubungan seperti yang Ruha minta, tapi Ruha lebih nyaman dengan hubungan mereka sekarang. Alby telah menerimanya, bahkan sudah mulai bergantung padanya. Sesuai dengan harapannya selama ini.
"By, kalo misalnya peringkat gue di ujian bulanan nanti naik lo mau kasih apa?" tanya Ruha antusias.
Keduanya kini tengah berada di markas Scorpion. Kembali belajar bersama di sini untuk hari terakhir sebelum ujian bulanan besok.
"Kasih apa? Ruha mau hadiah?" Alby menaruh bukunya kembali ke meja dan menatap Ruha.
"Iya. Kalo ada hadiah 'kan gue jadi semangat buat belajar."
"Tapi gue ngga tau mau kasih apa. Ruha mau apa?"
Ruha berpikir sejenak sambil menatap Alby yang menunggu jawabannya. Wajah Alby terlihat begitu serius dengan kedua alis berkerut. Ruha jadi merasa gemas sendiri.
"Mau Alby aja," ujar Ruha dengan senyum.
"Hm? Maksudnya?"
"Ya, maunya lo jadi hadiahnya"
Alis Alby menyatu semakin tak mengerti. Ruha tiba-tiba menarik tubuhnya, membuat Alby kini duduk di atas paha Ruha. Saling berhadapan dengan jarak yang sangat dekat.
"By, gue mau peluk," pinta Ruha dengan kedua tangan sekarang memegang pinggang Alby.
"Kalo ada yang lihat gimana?" Alby gugup, sesekali melihat keluar takut ada yang tiba-tiba masuk.
Di bawah, tangan Ruha semakin liar menelusup ke dalam seragam Alby. Itu membuat Alby langsung menegang karena punggungnya disentuh oleh Ruha.
"Biarin aja mereka lihat. Toh mereka juga udah tau," ucap Ruha, kemudian mendekatkan wajahnya ke leher Alby.
"Ruha mau ngapain? Geli."
Sapuan halus nafas Ruha di leher membuat Alby sedikit bergidik karena merasa geli. Ruha terus menciumi bagian itu. Entah kenapa bagian itu sekarang menjadi candu bagi Ruha. Wanginya segar bahkan saat Alby berkeringat sekalipun.
"Ruha geli!"
Suara Alby yang seperti merengek itu membuat Ruha berhenti. Ditatapnya wajah Alby dan menangkup ke dua pipi bulat tersebut. Benar-benar lucu.
Bruk!
Secara tiba-tiba Ruha mendorong tubuh Alby berbaring di sofa dengan dirinya di atas. Fokus Ruha sekarang mengarah pada bibir merah Alby. Bagian candunya yang lain. Ia penasaran siapa yang pertama kali pernah mencicipi bagian itu.
"By, siapa yang pertama kali nyium bagian ini?" Ibu jari Ruha menyentuh bibir Alby.
"Bunda," jawab Alby.
Sepertinya Ruha salah pertanyaan. Harusnya ia bertanya lebih spesifik lagi.
"Maksud gue selain orang tua lo. Orang yang ngga punya hubungan darah sama lo."
Alby mencoba mengingat. Tak ada yang pernah menciumnya di bibir selain bundanya dulu. Kecuali satu orang. "Ruha," ucapnya.
"Gue yang pertama?"
Ruha merasa senang mendengarnya. Senyumnya tak henti-hentinya terkembang. Ia kembali memeluk Alby dengan erat dengan kepala di dada Alby. Bisa ia rasakan detak jantung Alby di telinganya. Sedikit tak beraturan. Dan hal itu membuat senyumnya sedikit luntur.
"By!" panggil Ruha dengan kepala mendongak.
"Hm?"
"Apa disini sering sakit?" Tangan Ruha menyentuh dada Alby. Dan pertanyaan itu berhasil membuat Alby terkejut. "Yang di dalam sini, pasti sering bikin ulah 'kan?"
"Lo udah tau? Bunda Rena cerita ya?" Alby langsung berasumsi seperti itu. Karena hanya bunda Renata yang mengetahui semua tentangnya.
"Iya, gue udah tau semuanya."
Suasana mendadak berubah hening. Alby dengan pikirannya dan Ruha yang mencoba mengira apa yang sedang dipikirkan Alby. Apakah seharusnya ia tak membahas topik ini sebelumnya? Alby mungkin tak nyaman karena ini.
"Jantung gue ngga rusak sejak lahir. Cuma ngga sengaja rusak aja." Suara Alby bergetar. "Tapi sejauh ini masih bisa dipakai."
Alby melempar sebuah senyum kepada Ruha. Senyum yang Ruha tangkap penuh dengan kepedihan.
"Bokap lo yang udah ngerusaknya, lo bilang ngga sengaja?" Kepalan tangan Ruha mengerat mengatakan itu.
Ingatan Alby ditarik ke kejadian dulu. Mengingat ayahnya membuat ketakutannya kembali. Masa kecilnya hanya kenangan buruk sebelum bertemu bunda Renata.
"Kalo ngga ada Kak Ian, mungkin ayah bener-bener udah bunuh gue."
Ruha tau 'Kak Ian' yang disebut Alby itu kakak sepupu yang diceritakan tante Renata. Ia kembali membawa Alby duduk. Memeluk Alby dengan erat saat melihat raut ketakutan dari wajah tersebut.
"Gue minta maaf, ngga seharusnya gue ungkit itu. Jangan diingat lagi. Gue ngga mau trauma lo kembali," ujar Ruha menengangkan, tangannya mengusap kepala Alby yang kini menggenggam erat pakaiannya. Memang tak seharusnya ia membahas hal itu, sekarang Alby ketakutan karenanya.
"By, untuk kesekian kalinya gue bilang... jangan pendam perasaan lo sendiri. Kalo emang mau nangis, luapin aja biar hati lo lega. Nangis ngga akan bikin lo jadi orang lemah."
Tubuh dalam dekapannya itu bergetar. Alby semakin merapatkan wajahnya pada dada Ruha. "Tapi dulu kata ayah, kalo nangis nanti dipukul... anak laki-laki ngga boleh cengeng," lirihnya.
"Nangis itu hal wajar, ngga peduli lo perempuan atau laki-laki. Lo boleh nangis sepuas lo sekarang, ngga ada yang akan berani mukul lo karena ada gue."
Makasih yang udah vote sama komen, maaf baru bisa update lagi (❁'◡'❁)
Bạn đang đọc truyện trên: truyentop.pro