16 | Past and Future
⚠️ WARNING ⚠️
Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.
[pythagoras]
.
.
.
.
Markas Alizion.
Aslan masuk ke ruangan private anggota inti sambil membawa sebuah amplop cokelat. Di dalam hanya ada sosok Yesa yang sedang membaca buku. Tak ditemukannya sosok si Ketua di sana.
"Sa, Julian mana?" tanyanya basa basi.
"Dia ada urusan keluarga, jadi ngga kesini," jawab Yesa cuek tanpa mengalihkan matanya dari buku.
Aslan lantas melempar amplop yang ia bawa keatas meja dan duduk di sebelah Yesa. Mengambil sebatang rokok dari sakunya dan mulai menyalakan batang nikotin tersebut.
"Itu amplop apa?" Yesa langsung tertarik dengan barang yang dibawa Aslan tersebut.
Melihat Yesa yang mulai penasaran, Aslan menyunggingkan senyumnya. Ia mengambil kembali amplop cokelat tadi dan membukanya di hadapan Yesa.
"Lo tau, seminggu ini Julian nyuruh beberapa anak ngawasin Ruha. Dan ini hasilnya."
Raut yang ditunjukkan Yesa seketika berubah saat nama Ruha disebutkan. Aslan jelas tau apa yang sedang Yesa pikirkan sekarang.
"Ruha, Ketua geng Scorpion. Rival kita. Mantan lo!" ucapan Aslan itu langsung mengundang lirikan dari Yesa. "Kenapa lirik gue kaya gitu? Lo belum move on? Gue tau sih, hubungan kalian dulu udah bener-bener serius. Sampai-sampai gue ngiranya Alizion sama Scorpion mungkin bisa jadi akur karena kalian..."
Yang diucapkan Aslan adalah sebuah fakta. Yesa mantan Ruha. Tepatnya saat Ruha masih kelas 10 dan Yesa kelas 11. Yesa juga merupakan mantan laki-laki pertama Ruha. Hubungan mereka putus karena Ruha mengetahui kalau Yesa adalah tangan kiri Julian. Itu jugalah yang menjadi awal pemicuh semakin besarnya permusuhan antara kedua geng ini.
Dari pihak Alizion semua mengetahui fakta tersebut, berbeda dengan Scorpion. Hanya Ruha sendiri dan Riko yang tau tentang hubungan itu. Ruha benar-benar menutup rapat hubungannya dengan Yesa.
"Kenapa Ruha diawasin sama Julian?" tanya Yesa.
"Minggu lalu pas Ruha sama gengnya datang buat jemput anggotanya yang ga sengaja kita tangkap, anak-anak kita ada yang kedapatan mergokin dia di wilayah kita. Gue tau lo ngga datang waktu itu juga mau ngehindarin ketemu Ruha," jelas Aslan.
"Ruha di wilayah kita?" Yesa tau Ruha bukan anak yang akan melanggar perjanjian seenaknya. Apalagi Ruha adalah ketua.
"Ya, dan parahnya lagi itu di daerah kompleks perumahan Julian. Amplop ini isinya foto-foto Ruha di sekitar sana selama seminggu ini. Harusnya hari ini gue kasih ke Julian sekalian kasih tau satu hal, tapi berhubung Julian ngga disini, kita rundingin berdua dulu."
Aslan meletakkan beberapa foto Ruha di atas meja untuk dilihat lebih jelas oleh Yesa. Yesa mengambil satu foto yang menampilkan Ruha secara jelas sedang menggendong seseorang menuruni taksi di depan sebuah rumah.
"Tapi ini bukan rumah Julian. Terus ini Ruha sama siapa?" tanya Yesa menunjukkan foto ditangannya.
Aslan menjentikkan jarinya, "Itu yang penting," ujarnya semangat. Ia mencari satu foto lagi dan sebuah lembar data. "Ada anak San Juan yang tinggal di kompleks perumahan Julian. Gue dapat data sama fotonya. Namanya Ukasya Albyandra, umurnya 16 tahun kurang."
"16 tahun? Anak kelas 10?"
"Bukan," jawaban Aslan lantas membuat Yesa bingung. "Malahan dia sekelas sama Ruha di kelas unggulan dan dia juga Ketua OSIS San Juan. Nih anak jenius kayaknya, dia dapat beasiswa disana dan selalu dapat peringkat satu umum."
Umur 16 tahun dikelas 11 unggulan tentu Aslan menganggap Alby jenius. Sudah dipastikan karena jelas Alby pernah loncat kelas dulunya.
"Lo dapat data anak ini dari mana?"
"Gue punya banyak mata di San Juan. Informasi kaya gini tentu mudah gue dapat. Selain itu, ada satu lagi yang perlu lo tau. Hubungan anak ini sama Ruha. Gue denger si Ruha suka sama dia. Mereka sekarang mungkin udah... pacaran," jelas Aslan dengan bisikan diakhir kalimat.
Mendengar itu membuat Yesa tanpa sadar sedikit meremas foto Alby yang Aslan berikan padanya. Ada rasa berdesir yang mencoba ia abaikan.
"Terus kenapa lo bilang itu ke gue?" ketus Yesa melirik Aslan yang tersenyum penuh arti.
"Gue tau lo masih suka sama Ruha. Ya mungkin dengan gue bilang ini lo jadi punya motivasi buat ambil balik milik lo."
Sesaat Yesa diam dengan pikirannya. Mood-nya memburuk karena Aslan. Yesa lantas berdiri, melempar sembarangan foto di tangannya dan beranjak pergi begitu saja. Tak ada yang tau apa yang dipikirkan anak tersebut, kecuali Yesa sendiri.
...
"By, turun udah sampai rumah lo."
Hening.
Ruha langsung menoleh ke belakang dimana Alby berada. Alby bertumpu sepenuhnya pada punggungnya dengan kedua tangan melingkar ke depan. Matanya menutup.
"Astaga Alby, bisa-bisanya ketiduran gue bonceng. Untung lo ngga jatuh di jalan."
Gemas juga rasanya melihat Alby ketiduran seperti ini. Pelan Ruha menahan tubuh Alby sembari menstandarkan motornya. Ia lalu berbalik dan mengangkat tubuh Alby dalam gendongan. Membawa Alby masuk ke rumah.
"Ungh... Ru, udah sampai ya?" Alby mengucek matanya terbangun karena goncangan. Dan baru sadar ia sedang digendong Ruha.
"Udah. Tidur lagi aja."
Ruha mendorong kembali kepala Alby untuk bersandar pada pundaknya. Ia tau Alby masih mengantuk. Dengan cepat Ruha memasukkan pin rumah Alby yang sudah ia hafal dan masuk ke dalam.
"Turunin, udah ngga ngantuk," pinta Alby.
Ruha menurutinya dan menurunkan Alby di dekat sofa. "Bilangnya ngga ngantuk tapi mata lo masih sayu gitu," ucap Ruha dengan pandangan tak melepas Alby.
Dengan kasar Alby mengusap wajahnya untuk menghilangkan kantuk. Efek tidur jam satu pagi tadi membuatnya hampir tak bisa menahan rasa kantuk seharian ini. Ia sedikit kesusahan melepas jaket merahnya saking tak bisa fokusnya. Ruha yang melihat itu berdecak lantas berinisiatif menarik resleting jaket Alby.
"Abis ini mandi terus tidur aja." Ruha berujar dengan nada memerintah. Jujur merasa kasihan dengan Alby yang terlihat sangat mengantuk.
"Ngga bisa Ru, gue harus cuci seragam dulu. Abis itu berangkat kerja."
Benar-benar tak habis pikir dengan pikiran Alby.
"Seragam lo biar gue yang cuci. Kerjanya izin dulu, kaki lo masih agak bengkak malah mau pergi kerja."
Sontak Alby langsung menatap kedua kakinya yang terbalut kaos kaki dan sandal selop hitam. Memang masih sedikit kebas, tapi ia tak mungkin izin kerja lagi untuk hari ini.
"Kemarin gue udah izin. Kata dokter UKS itu juga harus banyak digerakin kakinya. Lagian kata pemilik cafe hari ini cuma buka sampai jam sembilan. Jadi gue kerja cuma dua jam," kukuh Alby.
Entah bagaimana Ruha baru tau Alby sangat keras kepala kalau soal menyengsarakan diri sendiri. Seperti tak ada hari esok saja untuk bekerja.
"Batu banget calon pacar," decak Ruha membuat Alby langsung menatapnya karena ucapan itu. Kedua mata Alby saling mengerjap dengan alis bertaut lucu.
"Calon pacar?" dengan polosnya Alby mengulangi ucapan Ruha.
Ruha hanya tertawa, lantas mengarahkan kedua tangannya mengacak rambut Alby sampai berantakan. Ia rasa bisa kena diabetes kalau lama-lama bersama Alby. Tapi tak apa, mau diabetes akut pun Ruha tak masalah kalau Alby penyebabnya.
"Cepetan mandi, gue izinin kerja tapi syaratnya gue antar dan gue tungguin!" pinta Ruha mutlak.
"Kenapa harus pake izin lo? Kan gue yang kerja Ru."
"Protes lagi gue cium nih!" Ruha iseng memajukan wajahnya pada Alby. Alby dengan refleksnya langsung mendorong wajah Ruha dan berlari ke kamar mandi.
...
Pukul 20.30
Sudah satu setengah jam Ruha duduk di dalam cafe sambil menunggu Alby. Matanya tak lepas terus menatap Alby yang keluar masuk membawa makanan serta minuman untuk pelanggan. Keadaan cafe yang ramai membuat Ruha hampir tak melihat Alby sempat istirahat.
Beberapa kali ia kedapatan melihat Alby yang menyeka keringatnya. Dari gelagatnya, Ruha tau Alby itu sudah kelelahan dan masih keras kepala untuk tetap bekerja.
"Mau pesan!" seru Ruha saat melihat Alby yang berdiri di dekat kasir.
Ia berharap Alby yang akan datang, tapi langsung pupus saat seorang wanita yang juga pelayan cafe menghampiri mejanya.
"Pesan apa?" si pelayan wanita sudah bersiap dengan note dan bolpointnya di samping Ruha.
Bukannya menjawab, Ruha melirik Alby yang masih berada di kasir. "Bisa tolong panggilin Alby aja?" pintanya.
Pelayan wanita itu mengerutkan alisnya bingung dan hanya dibalas wajah memohon oleh Ruha. Ia lantas berbalik kembali menuju Alby di kasir. Dari mejanya Ruha melihat Alby yang menatapnya setelah pelayan wanita itu bicara. Dan pada akhirnya, Alby datang kearahnya.
"Pelayan disini sama aja, kenapa harus gue. Emang mau pesan apa lagi?" Alby dengan wajah lelahnya bertanya.
"Sama kaya yang tadi," timpal Ruha.
Alby langsung berbalik pergi untuk menyiapkan pesanan Ruha tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Hingga sepuluh menit kemudian Alby kembali sambil membawa chocolate milkshake ke hadapan Ruha.
"Ini chocolate milkshake lo yang keempat," ujar Alby dan menaruh pesanan Ruha tersebut di sebelah tiga gelas kosong di meja. "Kalo lo bosen nungguin, mending pulang aja."
"Gue ngga bilang bosen."
"Terus?"
"Lo duduk! Minum milkshake-nya, istirahat bentar," pinta Ruha.
Alby menghela nafas karena itu. Membawa Ruha ke tempat kerjanya memang opsi yang tidak harus ia pilih. Tapi bahkan itu bukan pilihan, melainkan paksaan Ruha sendiri.
"Gue disini buat kerja, Ru. Bukan buat santai-santai." Alby berbalik, berniat kembali pada pekerjaannya. Tapi belum satu langkah pergi, tubuhnya ditarik duduk dan berakhir di paha Ruha.
"Tapi tubuh lo perlu istirahat." Ruha tak melepas pelukannya pada pinggang Alby yang berontak.
"Ru lepasin! Ini di cafe, ada banyak orang yang lihat," protes Alby, tangannya mencoba menyingkirkan lengan Ruha dari pinggangnya. "Ruha!"
"Minum dulu milkshake-nya! Kalo ngga lo minum gue cium lo disini juga!" ancam Ruha. Dan itu cukup ampuh untuk membuat Alby langsung bergerak meminum milkshake di depannya. Tak sampai habis, hanya setengah gelas.
"Udah," ucap Alby melirik Ruha di belakang.
Ruha tersenyum puas, ia mengusak rambut Alby. "Jangan capek-capek! Sekarang boleh balik kerja. Jam sembilan belum selesai, gue tarik lo pulang!"
Alby pergi dengan sedikit kesal.
...
Jam sembilan tepat, Ruha menarik Alby untuk pulang begitu selesai mengganti seragam. Bahkan Alby tak sempat ikut membereskan cafe.
"Harusnya tadi naik motor gue aja. Kenapa jalan kaki gini," gerutu Ruha.
Keduanya kini di jalan pulang ke rumah Alby. Sudah tiga kali Alby mendengar itu di sepanjang jalan pulang. Dan lebih milih diam mendengar.
"By, deketan! Udaranya mulai dingin." Ruha merangkul pundak Alby untuk lebih rapat dengan tubuhnya. Alby tak menolak karena memang mulai merasa kedinginan.
"Ru, lo ngga pulang ke rumah lo?" tanya Alby.
"Rumah gue itu lo. Jadi gue udah pulang." Ruha melempar senyumnya.
Semakin lama bersama Ruha, Alby merasa banyak hal tak terduga terjadi. Hidupnya jadi lebih banyak warna dibuat oleh Ruha. Seperti sekarang, melihat senyum Ruha seperti itu membuat hatinya menghangat.
Cupp!
"Mikirin apa? Serius amat mukanya?"
Tanpa izin Ruha mendaratkan ciuman di pipi Alby. Selalu seperti itu, seenaknya mencium dan membuat Alby kelimpungan karena terkejut.
"Udah dibilang jangan suka nyium tiba-tiba!" seru Alby menjauh sambil memegangi pipinya bekas ciuman Ruha. Alby lantas berjalan lebih cepat meninggalkan Ruha yang tertawa di belakang.
"BY, NGGA MAU GUE GENDONG?"
Mengabaikan teriakan Ruha, Alby langsung berbelok masuk gang rumahnya. Ia memegangi pipinya dengan kedua tangan dan alis menyatu. Perasaannya mendadak aneh karena perilaku Ruha.
Langkah Alby tiba-tiba harus berhenti saat melihat seekor anak kucing kumuh di samping tempat sampah. Apa anak kucing itu sengaja dibuang? Kasihan.
Meow~
Anak kucing itu mendekat kearahnya, refleks Alby mundur. Ia takut.
"Alby, kaki lo itu pendek tapi kenapa jalannya cepet sih." Ruha datang, tak lupa dengan gerutuan. Melihat Alby diam terpaku membuat Ruha cepat-cepat mendekat. Takut Alby kenapa-kenapa. "By kenapa?"
Meow~
Atensi Ruha langsung ditarik oleh suara anak kucing tersebut. Kemudian menatap Alby yang masih diam.
"Ru, bisa bantu bawa anak kucing ini ke rumah?" pinta Alby tak melepas pandangan dari anak kucing yang semakin mendekati kaki. Alby langsung meloncat ke belakang Ruha.
Wajah takut Alby terlihat jelas oleh Ruha, dan itu membuatnya tertawa. "Abis di bawa ke rumah lo terus diapain? Lo nya aja takut gitu," ujar Ruha bernada menyindir.
"Tapi kasihan anak kucingnya. Kalo ditinggal disini nanti mati gimana?" Alby menatap Ruha memohon.
Helaan nafas keluar dari bibir Ruha. Ia tak bisa menolak permintaan disaat Alby menatapnya seperti itu. Dengan tanpa jijik ia mengambil anak kucing yang seharusnya berwarna abu-abu dan putih tersebut. Membawanya menuju rumah Alby dengan Alby di belakang.
"Makasih Ru!" ucap Alby senang. Ruha tentu ikut senang kalau Alby senang.
Makasih udah vote dan komen, dan maaf banget baru update.
Ntar maleman kalo inget ku update lagi deh sebagai gantinya (^∀^)ノシ
Aku abis nyelam terlalu dalam di AO3. Keasikan disana jadi gak sempet update hehe... Penulis-penulis di AO3 tuh bener-bener udah another level keknya ya, idenya diluar batas dan penulisannya bagus bgt jadi lupa mau balik ke wattpad.
Klean ada yang suka baca AO3 juga kah? Kalo ada fandom apa biasanya? Diriku kepo wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: truyentop.pro