17 | Hello Meng!
⚠️ WARNING ⚠️
Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.
[pythagoras]
.
.
.
.
Semua pertemuan melahirkan perpisahan dan juga... sebuah pertemuan baru.
Masa lalu hanya kenangan, sedangkan masa depan adalah harapan.
...
Jauh dari belakang Ruha dan Alby yang menuju rumah Alby, ada sosok Yesa memperhatikan semuanya. Melihat bagaimana perlakuan Ruha itu membuat kegundahan Yesa rasakan.
Ia terus mengikuti dua orang tersebut, sampai akhirnya hilang dari pandangan karena masuk ke dalam sebuah rumah. Rumah itu yang Yesa lihat pada foto-foto yang dibawa Aslan. Ia berdiri cukup lama di depan rumah tersebut dan hanya memandanginya dari luar.
"Gue ngapain sih disini. Lo udah bukan siapa-siapanya lagi," serunya. Lain di mulut lain juga di hati. Hatinya meneriakkan hal yang bertentangan. Tapi nyatanya mustahil.
Yesa berdecih, memasukkan kedua tangannya pada saku jaket dan berbalik untuk pergi. Tapi sebuah suara menghentikannya. Hampir membuat jantungnya turun ke kaki.
"Lo ngapain disini?"
Nada suaranya sangat dingin.
Yesa kembali berbalik menatap pemilik suara. Menemukan Ruha berdiri di hadapannya dengan wajah datar. Tatapan itu cukup membuat tangannya di dalam saku refleks mengerat. Tak sangka Ruha menyadari kalau ia mengikutinya.
"Apa Julian yang nyuruh lo? Lo pasti disuruh ngikutin gue karena ini wilayah kalian." Kembali suara berat Ruha terdengar. Nada yang jauh berbeda dengan yang Yesa dengar saat tadi bersama Alby. "Gue tau, gue udah melanggar perjanjian. Kalo emang lo mau ngadu ke semua anggota lo, gue ngga peduli. Gue cuma mau jaga milik gue disini."
Kata 'milik' yang Ruha ucapkan sudah cukup menyadarkan Yesa posisinya. Mereka benar-benar sudah berakhir. Tak ada harapan untuk kembali.
"Ini bukan cuma masalah wilayah Alizion aja. Tapi lo itu Ketua Scorpion! Lo harusnya tau konsekuensinya kalo semua anggota lo tau soal ini," peringat Yesa.
"Turun dari jabatan ketua, dikeluarin dari Scorpion, dibenci seluruh anggota..." Ruha menahan kalimatnya. Menatap lurus pada Yesa yang terlihat menunggu lanjutan ucapannya. "...itu tiga kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Gue bisa terima itu semua asal bisa pastiin kalo Alby baik-baik aja."
Yesa terkejut mendengarnya. Nilai yang tak sebanding untuk alasan Ruha yang terdengar sangat konyol. Tapi sekali lagi, ia tak punya hak apapun atas keputusan Ruha.
Oke Yesa, tetap tenang dan kuasai.
"Jadi namanya Alby ya." Jelas ia sudah tau nama itu. "Dilihat dari luarnya dia kaya anak baik-baik, jauh dari tipe lo. Lo sampai rela pertaruhin jabatan Ketua Scorpion demi dia, tentu hubungan kalian bukan sekadar keisengan lo aja." Yesa melempar senyum tipis.
"Gue ngga pernah iseng kalo soal hati," timpal Ruha.
"Oh, gitu? ...semoga hubungan kalian bertahan lama. Dan ngga berakhir sama kaya yang terakhir kali." Yesa sedikit memberi penekanan di akhir kalimatnya. Ia menatap Ruha yang tak merubah ekspresi sedikitpun. Wajah itu yang ia rindukan, sudah berbeda cara untuk memandangnya. "Ngomong-ngomong, lo mungkin belum tau ini. Kompleks perumahan ini masih satu tempat sama rumah Julian..."
Ekspresi Ruha langsung berubah. Terkejut akan fakta yang Yesa berikan dan tentu bukan berita bagus untuk didengar.
"...kalo gitu gue pergi," pamit Yesa. Ia berbalik, melangkah menjauhi Ruha dengan berbagai macam beban dalam hati.
"Tunggu! Gue mau kasih tau satu hal, sampaikan sama anggota Alizion juga Julian. Mungkin ini memang wilayah kalian, tapi Alby tetap bagian dari San Juan. Jangan sampai kalian coba ngusik Alby, karena urusannya langsung sama gue," ucap Ruha.
Ia tau Yesa mendengarnya dengan baik meski berdiri memunggunginya. Tak ingin berlama-lama lagi, ia kembali masuk ke rumah Alby dengan banyak pikiran.
...
"Alby, lo kenapa disitu!"
Ruha yang baru masuk langsung dikejutkan dengan keberadaan Alby di atas meja makan.
"Ru, kucingnya mau nyakar," adu Alby dengan tangan menunjuk anak kucing yang sedang menjilati kakinya sendiri di samping kaki meja.
Bisa-bisanya Alby takut dengan anak kucing setelah menyuruhnya membawa makhluk kecil itu kesini. Apalagi dengan tatapan memohon seperti tadi.
"Sini... sini! Turun! Jangan naik atas meja nanti jatuh."
Ruha mendekati Alby dan mengulurkan tangannya untuk membantu Alby turun. Bukannya meraih uluran tangan Ruha, Alby hanya memandangi Ruha dengan menggigit bibir.
"Kalo dicakar gimana? Gue takut!" kukuh Alby.
Ruha refleks menepuk dahinya sendiri, heran. Mendadak Alby jadi anak kecil seperti ini. "Terus? Kucingnya mau dibalikin ke tempat sampah?" tanya Ruha.
Alby dengan cepat menggeleng, tentu membuat Ruha bingung harus bagaimana. Takut kucing tapi masih mau mempertahankan anak kucingnya. Antara gemas dan kesal juga Ruha nya.
Tak ada pilihan selain memaksa Alby turun. Ruha benar-benar takut kalau Alby jatuh. Ia menarik tubuh Alby saat fokus dengan kucing dan menggendongnya. Alby yang sadar tubuhnya sudah tak di atas meja, lantas mengeratkan pegangannya pada Ruha karena takut diturunkan.
"Jangan turunin gue!" pekiknya saat Ruha berniat menurunkan tubuhnya. Kedua kaki dan tangannya semakin erat memeluk Ruha.
"Tenang, By. Turun dulu nanti kucingnya gue pegang biar ngga nyakar," ucap Ruha yang baru Alby turuti.
Begitu turun Alby langsung sembunyi di belakang Ruha. Hanya terus memperhatikan interaksi Ruha dengan kucing kecil yang terlihat patuh dielus bulunya oleh Ruha. Alby iri, ingin juga mengusap kucingnya tapi takut.
"Gue mau mandiin kucingnya, lo ganti pakaian dulu."
Ruha membawa anak kucing itu menuju kamar mandi. Sangat telaten memandikan anak kucing tersebut dari mulai mengguyur air dan menyabuni bulu kotor yang perlahan mulai bersih. Si kucing beberapa kali menggoyangkan tubuhnya membuat cipratan air dimana-mana. Tapi itu terliat lucu.
"Nah selesai, udah bersih. Tinggal dikeringin," ucap Ruha setelah bilasan terakhir. Ia mengambil satu handuk kecil dan membungkus kucing kecil tersebut keluar.
Alby ternyata sudah menunggu di depan kamar mandi dengan pakaian yang sudah berganti piyama. Begitu Ruha keluar, ia langsung pergi menjauh.
"Kucingnya jinak, By. Bukan kucing bar-bar, jadi ngga usah takut. Sini bantu gue keringin," bujuk Ruha sambil mengusap bulu kucing abu-abu tersebut. Mata kucing itu mengerjap setiap Ruha mengusak kepalanya, membuat Alby gemas ingin memegang.
"Beneran jinak? Ngga bakal nyakar atau gigit?" tanya Alby antisipasi.
"Kalo nanti lo digigit, gue gigit balik kucingnya."
Alby selangkah demi selangkah mulai mendekati Ruha yang berjongkok di lantai. Mengambil jarak satu meter di depan Ruha. Ia terkagum-kagum saat melihat anak kucing itu menguap lucu dan menatapnya.
"Lucu," gumam Alby tanpa sadar. Ruha yang mendengarnya terkekeh.
"Kesiniin tangan lo." Ruha membawa kucingnya mendekat dan meraih tangan Alby untuk menyentuh bulu kucing kecil tersebut. Alby sempat panik sesaat sebelum merasakan sensasi halus yang kembali membuatnya terkagum.
"Ru, bulunya halus banget." Senyum Alby mengembang sempurna. Ia terus mengelus kepala kucing itu dengan telunjuknya sampai membuat si kucing nyaman.
"Mau coba gendong?" tanya Ruha.
Alby sejenak berpikir sebelum mengangguk ragu. Ruha langsung memindahkan anak kucing yang masih terbalut handuk itu ke tangan Alby. Melihat si anak kucing yang tenang dalam gendongannya membuat rasa takut Alby hilang berganti rasa gemas yang meningkat.
"Ru, kucingnya gemesin ya. Bulunya banyak, kalo udah bener-bener kering pasti lebat banget." Alby yang masih dalam kekagumannya terhadap anak kucing itu.
"Iya, gemes banget. Jadi pengen gue cium," timpal Ruha dengan pandangan mengarah pada Alby.
"Cium aja, kan udah dimandiin."
Mendengar itu senyuman Ruha semakin lebar. Ia mendekat ke sisi kiri Alby dan mendaratkan satu ciuman di pipi.
Untuk beberapa saat Alby diam mencerna kejadian barusan. Ia menyentuh pipinya dan menatap Ruha tak terima. "Kok gue yang dicium?" protesnya.
"Karena gue gemesnya sama lo, bukan sama kucingnya."
Merasa tak ada dosa Ruha pergi ke dapur dengan gelak tawa meninggalkan Alby. Menggoda Alby memang kegiatan wajib yang tak ada bosannya Ruha lakukan. Apalagi kalau sampai dua pipi bulat itu memerah seperti tomat. Kalau bukan pertahanan Ruha yang kuat, mungkin Alby sudah habis ia makan dari kemarin-kemarin.
"By, lo ada susu nggak?" teriak Ruha dari dapur.
"Coba cari di kulkas, kayanya ada!" balas Alby. Ia duduk di sofa bersama anak kucingnya.
Tak lama Ruha kembali dengan membawa mangkuk kecil dan sekaleng susu bergambar beruang. Alby menatap itu dengan penasaran.
"Susu buat apa?"
"Kucingnya mungkin laper, tapi karena masih kecil jadi dikasih susu aja sementara," jelas Ruha sambil membuka kaleng susunya dan menuangkan pada mangkuk kecil yang dia bawa.
Ruha lantas menaruh mangkuk tersebut di atas sofa dan mengambil anak kucingnya dari Alby. Ia menaruhnya di sebelah mangkuk susu yang langsung menjilati susu itu dengan rakus.
Melihat Alby yang terus mengelus kucing tersebut membuat Ruha kembali heran. Belasan menit lalu Alby masih ketakutan, tapi sekarang malah tak ingin melepas.
"Jangan digangguin terus pas minum, biarin kenyang dulu baru uyel-uyel lagi!"
Ucapan Ruha itu membuat Alby langsung menarik tangannya tak rela. Masih terlalu gemas dengan anak kucing yang ia temukan.
"Lo ngga pernah pegang kucing, By? Tadi takut, sekarang ngga mau lepas."
"Bukan ngga pernah. Tapi pertama kali gue ketemu kucing dicakar sampai wajah gue berdarah. Jadi gue mikirnya semua kucing gitu semua," jelas Alby, teringat waktu kecil pernah melihat kucing tetangga berkelahi. Berniat memisahnya tapi berakhir dirinya yang dicakar habis-habisan. Membuatnya takut dengan makhluk berbulu tersebut sampai sekarang.
"Terus tadi lo takut kenapa maksain bawa anak kucing ini ke rumah?" Ruha kembali bertanya.
Alby merubah duduknya sepenuhnya di atas sofa sambil memeluk lutut. Tak melepas pandangan sedikitpun dari kucing kecil di depannya. "Waktu lihat anak kucing ini di samping tempat sampah tadi jadi keinget diri gue sendiri. Sendirian, ngga punya siapa-siapa."
Sedih? Tentu Ruha sedih mendengarnya.
"Lo punya gue sekarang, ngga sendirian lagi. Jangan pernah bilang gitu lagi," larang Ruha memasang wajah serius.
"Tapi lo ngga selamanya sama gue, pasti ada waktunya lo juga pergi ninggalin gue. Atau gue yang pergi ninggalin lo," timpal Alby.
"Kata siapa?" Ruha membalas dengan cepat. "Gue pastikan ngga akan pernah ninggalin lo, selamanya."
"Tapi jalan cerita Tuhan ngga ada yang tau, Ru," timpal Alby lagi. Tangannya berhenti mengelus bulu kucing yang kini sudah tertidur setelah kenyang minum susu. "Ru, kucingnya tidur."
...
Setelah memastikan kucing kecil itu aman di tempat tidur barunya, Ruha dan Alby juga segera pergi tidur. Di dalam kamar Alby di ranjang yang sama.
"Kucingnya mau dinamain apa?"
Ruha kini tengah memasangkan kaos kaki di kaki Alby. Sebuah rutinitas Alby tiap malam agar tak kedinginan saat tidur. Ia lantas menatap Alby yang matanya sudah tinggal setengah watt.
"Ruha punya saran?" tanya Alby balik menatap dengan mata sayu.
"Emm... kalo Ruby gimana?" saran Ruha. Itu gabungan dari namanya dan Alby.
"Tapi kucingnya jantan. Gimana kalo Meng saja." Nama itu terlintas begitu saja di otak Alby.
"Ya udah namanya Meng." Ruha langsung menyetujui, tak tega melihat mata Alby yang semakin menyipit. "Udah ngantuk, By?"
Alby mengangguk sambil mengusap mata. Lucu, batin Ruha. Ia segera memeluk tubuh Alby dan merebahkan diri di ranjang. Tak lupa dengan selimut menutupi keduanya.
"Ayo tidur! Tapi sebelum lo ke alam mimpi, cium dulu!" Ruha menunjuk bibirnya pada Alby.
Satu kecupan Alby berikan pada bibir Ruha tanpa ragu. Tak lagi ada rasa malu untuk mengawali itu karena sudah terbiasa, tentunya kalau hanya ada mereka berdua.
"Selamat tidur Ruha-nya Alby."
Ruha hampir tak percaya kalau kalimat itu keluar dari Alby yang kini merapatkan diri dan memeluknya. Begitu rapat dan hampir menyentuh ruru-nya, untung tak bangun. Tapi lantas, ia tersenyum dan membalas...
"Selamat tidur juga Alby-nya Ruha."
Terima kasih yang udah vote dan komen sebelumnya.
Aaaaa maap banget semalem lupa gak update, bener-bener lupa banget. Nih otak makin lama makin eror keknya jadi pelupa parah. Gantinya sekarang ku update 2 chap yaa
Siapa yang gumus sama Alby tunjuk tangan! \^o^/
Bạn đang đọc truyện trên: truyentop.pro