22 | Pacaran
⚠️ WARNING ⚠️
Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.
[pythagoras]
.
.
.
.
Hari kedua bakti sosial di panti, Alby tak bisa banyak ikut bermain lagi seperti kemarin. Ruha selalu melarangnya, mengusir anak-anak kecil yang ingin mengajaknya bermain dengan alasan dirinya masih sakit. Jelas Ruha mengkhawatirkan Alby karena kejadian kemarin.
Jadilah Alby hanya duduk-duduk di pinggir halaman melihat anak-anak bermain bola. Hingga tiba-tiba bola menggelinding kearahnya, disusul Gamma yang berlari mendekat.
"By, ngapain duduk disini? Masuk gih! Ketauan Ruha nanti ngomel kaya tadi pagi," suruh Gamma saat mengambil bolanya.
"Bosen, pengen ikut main," keluh Alby. Ia memeluk lutut dan menaruh kepalanya. Sebuah plester penurun panas masih bertengger di dahi dengan pipi merah karena suhu panas.
Melihat Alby seperti itu membuat Gamma membatin dalam hati. 'Nih anak imut juga kalo kaya gini...' dan seketika menampar pipinya dengan apa yang ia pikirkan. "Pawangnya serem Gam kalo marah. Sadar lo juga ngga belok!" gumamnya sendiri.
"Gam! Gue boleh ikut main?"
Gamma kembali melihat Alby yang menatapnya dengan tatapan memohon. "Lo mau gue babak belur dipukulin Ruha? Jangan aneh-aneh, udah paling bener sini aja."
"Cuma lima menit aja. Lagian Ruha ngga sejahat itu sampai mukul," bujuk Alby lagi.
"Ya lo ngga tau aja By kalo Ruha marah itu lebih serem dari valak. Udah lo tetep disini aja!"
"Ruha juga lagi ngga disini. Dia ngga bakal tau."
"Enggak!" tegas Gamma untuk terakhir kalinya sampai akhirnya Alby diam. Sebenarnya Gamma iba, tapi Ruha tadi sudah mewanti-wanti kepada semua orang untuk tak membuat Alby banyak beraktifitas. "Gue panggilin Ruha deh, nanti lo main sama dia. Jangan masang muka kaya mau nangis gitu."
Gamma pergi begitu saja meninggalkan Alby kembali sendirian. Padahal Alby itu paling tak tahan kalau disuruh diam. "Gue pengen main, atau kalo enggak bantu-bantu yang lain," gumam Alby dengan kepala tertunduk diantara lutut.
"Enak ya, cuma modal sakit bisa males-malesan..." cibir Khanza yang tak sengaja lewat di depan Alby. Sontak Alby mengangkat kepalanya kembali.
"Yang lain pada sibuk masing-masing lo malah cuma duduk santai disini. Sakit demam aja manja banget. Lo itu bukan anak kecil, By!" Mely yang bersama Khanza ikut menimpali.
Keduanya menatap Alby dengan pandangan menusuk seolah tak terima karena Alby tak melakukan apapun. Sedangkan mereka berdua sudah bolak-balik membantu Ibu Panti membeli persediaan panti sejak pagi.
"Kalian kalo iri pengen sakit bilang gue aja. Biar gue bikin sakit!"
Suara berat dari belakang dua gadis itu sontak membuat keduanya berbalik. Ruha datang dengan menyingsing lengan sweaternya sambil menatap keduanya tajam.
"Ayo bilang, bagian mana yang mau dipukul biar sakit?" Ruha bersiap dengan kepalan tangannya dihadapan keduanya.
"Apaan sih, ngga jelas. Lo mau mukul cewek hah?" ketus Khanza.
"Gue ngga pandang bulu kalo mau mukul. Mau lo cewek, cowok, atau banci juga gue pukul kalo berani ngusik Alby. Kalo ngga mau dipukul pergi sana!" usir Ruha. Ia mengibas-ngibaskan tangannya seolah mengusir serangga pada dua gadis itu. Mereka langsung kesal dan pergi begitu saja.
Ruha berganti berjongkok didepan Alby yang masih duduk. Ia melepas plester penurun panas didahi Alby dan membuangnya, kemudian menyatukan dahinya dengan Alby.
"Masih panas, By. Kaya gini lo mau main bola, hm? Mau pingsan?" tanya Ruha tanpa mengubah posisi. Wajahnya sangat dekat dengan Alby.
"Pasti Gamma yang ngadu." Alby merengut dan menjauhkan wajahnya dari Ruha.
"Terus kenapa kalo Gamma ngadu? Jangan bandel, lo itu harus sembuh dulu."
Alby tak menggubris, lebih memilih memunggungi Ruha. Ngambek ceritanya. Dan Ruha yang gemas langsung memeluk dari belakang.
"Astaga, lo ngambek By? Ketua OSIS bisa ngambek juga ya?" Iseng Ruha mencuri satu ciuman dipipi Alby yang langsung mendapat balasan berupa geplakan pada wajahnya.
"Ruha tau tempat dong kalo mau nyium! Ini panti, ada banyak anak kecil. Kalo lihat gimana? Jangan kasih contoh yang buruk."
"Lihat sekitar, ngga ada orang," tunjuk Ruha. Beruntungnya memang tak ada orang disekeliling mereka.
"Tetep aja, jangan seenaknya nyium pipi."
"Jadi ngga boleh nyium pipi lo?" diam-diam Ruha memasang senyum jahilnya.
"Ngga boleh!"
"Kalo gitu nyium bibir boleh dong."
"Sama aja ngga bol—mmph!"
Ruha sudah lebih dulu membungkam bibir Alby sebelum selesai bicara. Tanpa aba-aba langsung menggendong Alby ala bridal style dan berjalan masuk. Baru saat itu ia melepas ciumannya. Alby yang merasa malu dengan cepat menyembunyikan wajahnya didada Ruha.
"Ngga usah malu, ngga ada yang lihat. Sekarang udah siang, waktunya lo minum obat." Ruha dengan wajah riangnya membawa Alby kembali ke ruangan tempat mereka tidur.
...
"Buka mulutnya! Aaaa!"
Ruha membantu Alby minum obat seperti membantu anak kecil. Tangan kanannya memegang butiran pil sedangkan yang kiri memegang botol air.
"Gue bisa minum obat sendiri. Itu siniin!" Alby mengulurkan tangannya meminta pil dan airnya dari Ruha.
"Nurut By! Tinggal buka mulut aja."
Alby mendengus. Baru kali ini merasa sekesal ini dengan Ruha. Dari bangun pagi dilarang ini itu, makan harus Ruha yang suapi, minum obat juga tak bisa sendiri. Seharian ini ia merasa tangan dan kakinya tak berguna sedikitpun.
"Ayo aaaa~" Ruha kembali menyodorkan butiran pil itu di depannya. Alby mengalah dan membuka mulutnya yang langsung disambut rasa pahit begitu pil tadi menyentuh lidahnya.
Kali ini Alby kembali dibuat kesal dengan Ruha yang tak langsung memberikan botol airnya. Anak itu malah tertawa. Ia mencoba merebut botolnya dari Ruha, tapi langsung dijauhkan.
"Biar gue bantu minum."
Air dalam botol itu bukannya masuk kemulut Alby malah Ruha meminumnya sendiri. Tapi sepersekian detik berikutnya Ruha menempelkan mulutnya yang mengembung kearah mulut Alby menyalurkan airnya dari mulut ke mulut.
"Pinter langsung ditelen," puji Ruha begitu ritual minum obat selesai. "Sekarang tinggal pakai plester demamnya lagi" Ruha mengambil satu plester penurun panas dari kotak obat disampingnya dan membuka plastiknya.
"Cuma perkara minum obat aja harus sampai ciuman ya."
Suara itu menghentikan kegiatan Ruha. Riko yang berdiri diambang pintu, menatap dengan wajah jengah pada Ruha dan Alby. Niatnya kesini mau mengambil barang, malah disuguhkan adegan ciuman itu.
"Sirik aja lo Riko! Makanya cari pacar, betah amat jadi jomblo," cibir Ruha sembari lanjut menempel plester ke dahi Alby.
"Emang kalian udah pacaran?"
Skakmat!
Sampai sekarang tak ada status itu pada hubungan Ruha dengan Alby. Tentu karena Alby yang tak kunjung memberi jawaban dan Ruha yang tak lagi pernah bertanya. Mereka hanya menjalani hubungan apa adanya. Tanpa status lebih tepatnya.
Tapi siapapun akan langsung tau kalau hubungan Ruha dan Alby sudah melibatkan perasaan. Keduanya sudah bergantung satu sama lain.
"Diem 'kan lo, pacaran aja enggak sok nyuruh gue cari pacar." Ganti Riko balas mencibir.
"Seenggaknya gue ada yang diprioritaskan. Lo ada nggak? Motor mulu yang diurus. Sekali-kali cari cewek atau cowok gitu biar lo ada pawangnya. Atau lo mau jadi yang kedua?"
Plak!
Sandal santai Riko mendarat sempurna di wajah Ruha.
"Mampus lo! Punya mulut enteng banget kalo ngomong. Pikirin tuh Alby, goblok!" Riko bersungut emosi. Dengan langkah dihentak-hentakkan ia mengambil sandalnya kembali dan mengambil barang yang seharusnya sejak tadi ia ambil, kemudian pergi begitu saja tanpa rasa bersalah.
Alby yang syok menatap Ruha yang wajahnya terdapat bekas merah sandal. "Ruha, lo oke?" tanyanya khawatir, pasalnya Ruha diam tak berkedip.
Tak lama kemudian Ruha menatapnya dengan wajah mewek. "By, sakit..." adunya. "Riko mah gitu, mana tenaganya ngga main-main pas ngelempar."
"Udah tau Riko emosian malah diajak bercanda. Sakit banget ya?" Alby dengan perhatian mengusap wajah Ruha. Bekas merahnya sangat jelas terlihat.
"Bangeet. Aa! Jangan ditekan gitu," pekik Ruha. Ia sengaja semakin menekuk wajahnya dan semakin mengadu.
"Eh, maaf. Terus gimana, mau diapain biar ngga sakit?"
"Dicium"
"Kalo dicium mana bisa sembuhin sakitnya, Ru!"
"Tapi ciuman lo bisa." Ruha memasang wajah memohon.
Dan Alby terlalu polos untuk mengetahui kalau Ruha hanya mengerjainya. Dengan gampangnya Alby mulai mencium wajah Ruha. Dari mulai dahi, hidung dan terakhir bibir.
"Udah," ujar Alby. Wajah polosnya menatap Ruha masih dengan cemas. Detik berikutnya tubuhnya terangkat pada pelukan Ruha.
"By, lain kali kalo ada orang minta cium jangan dikasih gitu aja ya. Gue takut lo segampang itu juga ngasih cium ke orang lain. Lo itu cuma milik gue."
Dengan posesifnya Ruha memeluk Alby. Menciumi pundak dan leher Alby saking gemasnya. Bisa-bisanya Alby semudah itu memberikan ciuman hanya karena ia mengadu sakit.
"Lo dengerin gue 'kan By?"
"Iya denger."
"Denger apa?" ditangkupnya kedua pipi merah Alby itu menghadapnya.
Alby menunjukkan gigi-giginya tersenyum. "Kalo Alby cuma milik Ruha." ucapnya lantang.
Sungguh, Ruha sampai terharu mendengarnya. Rasanya ada bunga-bunga diperutnya yang mekar serta kupu-kupu beterbangan.
"Sekarang lo mau jawab pertanyaan gue yang dulu?"
"Yang mana?"
"Alby mau jadi pacar Ruha?"
Ini kedua kalinya Ruha mengatakan itu. Dan tentu dengan keadaan yang berbeda dari dulu dan harapan bahwa Alby akan menjawab dengan kata 'iya'. Lima detik berlalu terasa seperti berjam-jam menunggu jawaban Alby.
Hingga akhirnya dua kata terucap membuat Ruha tak melepas senyumnya.
"Iya... mau."
Seketika Ruha kembali memeluk Alby. Menciumi pundak, leher dan seluruh wajah Alby. "Abis ini gue harus pamerin hubungan kita ke Riko."
"Jadi kita pacaran cuma buat bisa pamer ke Riko?" Alby merengut karena ucapan Ruha itu.
Ruha langsung menyanggahnya dengan cepat. "Bukan gitu. Sebenarnya hubungan tanpa status juga ngga masalah. Yang penting lo tau seberharga apa lo buat gue."
"Baru kali ini ada yang bilang gitu. Dulu ayah malah sering bilang kalo seharusnya gue ngga lahir." Wajah Alby berubah sendu menatap ke bawah.
"Kenapa ayah lo bilang gitu?"
Alby semakin mengeratkan pelukannya pada Ruha yang tak mengerti. "Mereka kehilangan masa remajanya karena gue. Bunda jadi dibuang keluarganya, ayah juga..."
Sekarang Ruha mengerti. Kalimat Alby sudah cukup menjelaskan semuanya.
"...tapi bunda beda sama ayah. Bunda sayang, ngga pernah mukul kaya ayah. Waktu bunda mau meninggal aja dia sempet ngajak. Bunda bilang gini, Alby mau ikut bunda ya? Biar ngga dipukulin ayah lagi... gitu."
"By, udah..." Ruha memeluk Alby semakin erat. Tubuh dalam pelukannya itu bergetar.
"...pada akhirnya cuma bunda yang pergi. Gue ditinggal sama ayah. Setiap hari dipukuli. Bahkan saat ayah nikah lagi, bunda baru yang ayah bawa juga sering ngunci gue di kamar mandi. Dia, selalu bilang, bunda meninggal gara-gara ada gue..."
Ruha dengan cepat melepas pelukannya dan menatap wajah Alby. "Gue bilang cukup, Alby! Jangan cerita lagi, oke?" wajah di depannya memerah dengan mata mengembun. "Lo itu berharga... lo layak dilahirin. Mereka yang salah karena menyianyiakan harta berharga kaya lo."
"Cuma Ruha yang bilang gitu. Ruha ngga bohong, 'kan?"
"Buat apa gue bohong? Sekarang gue minta lo lupain kenangan lo yang dulu. Cuma gue yang harus ada dipikiran lo ini" Ruha menunjuk plester di dahi Alby dengan jarinya. Ia tersenyum dan memberi Alby satu kecupan dibibir. "Paham 'kan?"
Alby mengangguk pelan, lalu memeluk leher Ruha dengan erat. "Ruha juga berharga buat Alby. Jangan pernah pergi..."
"Ruha janji ngga akan pernah pergi dari sisi Alby sampai kapanpun, karena cuma Alby yang ngerti Ruha."
Halloow, lama ya gak ketemu... Aku tersesaaat hehe... = ̄ω ̄=
Bạn đang đọc truyện trên: truyentop.pro